ADAT ISTIADAT

ADAT ISTIADAT SEMARANG JAWA TENGAH
Dugderan (bahasa Jawaꦝꦸꦒ꧀ꦝꦺꦫꦤ꧀translit. Dhugdhèran) merupakan festival khas Kota Semarang yang menandai dimulainya ibadah puasa di bulan suci Ramadan yang diadakan Perayaan dibuka oleh wali kota dan dimeriahkan oleh sejumlah mercon dan kembang api (nama "dugderan" merupakan onomatope dari suara letusan). "Dug" yang berarti bunyi yang berasal dari bedug yang dibunyikan saat ingin shalat Maghrib. Sementara "deran" adalah suara dari mercon yang dimeriahkan oleh kegiatan ini.
Tradisi dugderan ini telah diadakan sejak tahun 1882 pada masa Kebupatian Semarang di bawah kepemimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Perayaan yang telah dimulai sejak zaman kolonial ini dahulu dipusatkan di kawasan Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di pusat kota lama Semarng dekat Pasar Johar.

Hasil gambar untuk DUGDERAN


Gambar terkait


Hasil gambar untuk DUGDERAN

Semarang - Tiap daerah di Indonesia punya cara sendiri untuk mengabarkan datangnya bulan suci ramadhan. Kalau Semarang lakukan Dugderan untuk menandai hadirnya ramadhan.

Dugderan kembali digelar untuk mengabarkan akan masuk bulan Ramadhan di Kota Semarang. Tradisi tua ini tak lekang oleh waktu meski teknologi canggih sudah mempermudah orang untuk menyebar kabar.

Bedug dan petasan masih digunakan sebagai alarm untuk mengiringi prosesi sakralnya seperti kala pertama digelar sekitar tahun 1881. Tahun ini Dugderan makin semarak karena menjadi salah satu rangkaian acara HUT Kota Semarang ke 472.

Ada yang beda dari tahun sebelumnya yaitu kehadiran patung Warak Ngendog setinggi 6 meter yang diarah. Warak merupakan hewan fantasi yang menyimbolkan kerukunan etnis si Ibu Kota Jawa Tengah itu. Hal tersebut terlihat dari kepala Naga menyimbolkan etnis Tionghoa, badan Unta memyimbolkan Arab, dan kaki Kambing menyimbolkan Jawa.

Dugderan, Cara Semarang Kabarkan Datangnya Bulan PuasaFoto: (Angling Adhitya Purbaya/detikcom)


"Yang berbeda dari tahun sebelumnya, ada pemecahan rekor Warag setinggi 6 meter. Untuk prosesimya sama," kata Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi kepada detikcom sebelum acara dimulai, Sabtu (4/5/2019).

Hendrar atau yang akrab disapa Hendi dalam prosesi itu berperan sebagai Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat. Di halaman Balai Kota Semarang ia menabuh bedug sebagai penanda akan masuk bulan Ramadhan.

Kanjeng Bupati kemudian menaiki kereta kencana menuju Masjid Agung Kauman Semarang yang bersejarah. Dalam perjalanan itu diiringi karnaval dengan peserta yang cukup banyak.

Kemudian prosei masuk ke inti dari Dugderan yaitu penyerahan Suhuf Halaqoh dari alim ulama Masjid Kauman kepada Kanjeng Bupati Arya Purbaningrat. Suhuf Halaqof itu dibacakan kemudian dilakukan pemukulan bedug disertai suara petasan meriam. Dua suara itulah yang menjadi cikal bakal nama acara Dugderan yaitu "dug, dug, dug," suara bedug dan "der, der, der," suara meriam.

"Rombongan bersama OPD perjalanan ke Masjid Agung Kauman. Salat Asar di sana kemudian membacakan Suhuf Qalaqah," pungkas Hendi.


Sebelum meninggalkan Masjid Kauman, Wali Kota akan membagikan kue khas Semarang, Ganjel Rel dan air Khataman Al Quran. Maknanya, warga harus merelakan hal-hal yang mengganjal ketika memasuki bulan Ramadhan, dan hati harus bersih maka diminumi air Khataman Al Quran.

Prosesi masih berlanjut, rombongan Wali Kota akan berjalan menuju Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) untuk menyerahkan Suhuf Halaqoh kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo selaku Raden Mas Tumenggung Probohadikusuma untuk diumumkan ke warga Jawa Tengah akan memasuki bulan Ramadhan.

Hendi merasa tradisi tersebut memiliki makna penting yaitu kerukunan warga yang terjalin serta nguri-uri budaya yang tetap terjaga. Apalagi sebenarnya untuk mengabarkan akan masuk bulan Ramadhan bisa dengan memanfaatkan teknologi yang praktis, tapi cara kuno itu masih tetap dijaga.

"Sangat penting pesannya untuk kota metropolitan ini karena tidak pernah lupa nguri budaya, ini sudah dilakukan sejak bupati pertama terus dari tahun ke tahun. Meski kata orang generasi milenial cukup WA ngabari Ramadhan tiba, kita tetap dengan dugderan," tutup Hendi

Komentar

Posting Komentar